MADRASAH SEBAGAI THE CENTRE OF EXCELLENCE
A. Pendahuluan
Dalam perspektif historis,
Indonesia merupakan sebuah negeri muslim yang unik, letaknya sangat jauh
dari pusat lahimya Islam (Mekkah). Meskipun Islam baru masuk ke
Indonesia pada abad ke tujuh, dunia internasional mengakui bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam. Hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan
Pendidikan Agama Islam di Indonesia.
Lembaga Pendidikan Agama Islam
pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk pesantren (Sarijo,
1980; Dhofier, 1982). Dengan karaktemya yang khas "religius oriented",
pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang
kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam
tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam.
Masuknya model pendidikan
sekolah membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi umat Islam saat
itu, yang mengarah pada lahirnya dikotomi ilmu agama (Islam) dan ilmu
sekuler (ilmu umum dan ilmu sekuler Kristen). Dualisme model pendidikan
yang konfrontatif tersebut telah mengilhami munculnya gerakan reformasi
dalam pendidikan pada awal abad dua puluh. Gerakan reformasi tersebut
bertujuan mengakomodasi sistem pendidikan sekolah ke dalam lingkungan
pesantren (Toha dan Mu'thi, 1998). Corak model pendidikan ini dengan
cepat menyebar tidak hanya di pelosok pulau Jawa tetapi juga di luar
pulau Jawa. Dari situlah embrio madrasah lahir.
B. Eksistensi Madrasah
Madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda dibanding pesantren. Ia
lahir pada abad 20 dengan munculnya Madrasah Manba'ul Ulum Kerajaan
Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh
Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909 (Malik Fadjar, 1998).
Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem
pendidikan Islam yang telah ada. Pembaharuan tersebut, menurut Karl
Sternbrink (1986), meliputi tiga hal, yaitu:
1. Usaha menyempumakan sistem pendidikan pesantren,
2. Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan
3. Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat.
Madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam
sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB tiga menteri (Menteri Agama,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri) menandakan
bahwa eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah
umum. Di samping itu, munculnya SKB tiga menteri tersebut juga dinilai
sebagai langkah positif bagi peningkatan mutu madrasah baik dari status,
nilai ijazah maupun kurikulumnya (Malik Fadjar, 1998). Di dalam salah
satu diktum pertimbangkan SKB tersebut disebutkan perlunya diambil
langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar
lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah
umum dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
C. Problema Madrasah
Sebagai upaya inovasi dalam
Sistem Pendidikan Islam, madrasah tidak lepas dari berbagai problema
yang dihadapi. Problema-problema tersebut, menurut Darmu'in (1998),
antara lain:
1. Madrasah telah
kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan madrasah bukan merupakan
kelanjutan pesantren, meskipun diakui bahwa pesantren merupakan bentuk
lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia.
2. Terdapat
dualisme pemaknaan terhadap madrasah. Di satu sisi, madrasah
diidentikkan dengan sekolah karena memiliki muatan secara kurikulum yang
relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain, madrasah dianggap
sebagai pesantren dengan sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan
madrasah diniyah.
Dengan demikian, sebagai sub
sistem pendidikan nasional, madrasah belum memiliki jati diri yang dapat
dibedakan dari lembaga pendidikan lainnya. Efek pensejajaran madrasah
dengan sekolah umum yang berakibat berkurangnya proporsi pendidikan
agama dari 60% agama dan 40% umum menjadi 30% agama dan 70% umum dirasa
sebagai tantangan yang melemahkan eksistensi pendidikan Islam. Beberapa
permasalahan yang muncul kemudian, antara lain:
1. Berkurangnya
muatan materi pendidikan agama. Hal ini dilihat sebagai upaya
pendangkalan pemahaman agama, karena muatan kurikulum agama sebelum SKB
dirasa belum mampu mencetak muslim sejati, apalagi kemudian dikurangi.
2. Tamatan Madrasah serba tanggung. Pengetahuan agamanya tidak mendalam sedangkan pengetahuan umumnya juga rendah.
Diakui bahwa model pendidikan
madrasah di dalam perundang-undangan negara, memunculkan dualisme sistem
Pendidikan di Indonesia. Dualisme pendidikan di Indonesia telah menjadi
dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini
tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya tetapi juga menjurus
pada keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara
ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam
dan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikhotomi keilmuan ini justru
menjadi garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha
menyatukan keduanya.
Dualisme pendidikan Islam juga
muncul dalam bidang manajerialnya, khususnya di lembaga swasta. Lembaga
swasta umumnya memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah dan ketua
yayasan (atau pengurus). Meskipun telah ada garis kewenangan yang
memisahkan kedua top manager tersebut, yakni kepala madrasah memegang
kendali akademik sedangkan ketua yayasan (pengurus) membidangi
penyediaan sarana dan prasarana, sering di dalam praktik terjadi
overlapping. Masalah ini biasanya lebih buruk jika di antara pengurus
yayasan tersebut ada yang menjadi staf pengajar. Di samping ada kesan
mematai-matai kepemimpinan kepala madrasah, juga ketika staf pengajar
tersebut melakukan tindakan indisipliner (sering datang terlambat),
kepala madrasah merasa tidak berdaya menegumya.
Praktek manajemen di madrasah
sering menunjukkan model manajemen tradisional, yakni model manajemen
paternalistik atau feodalistik. Dominasi senioritas semacam ini
terkadang mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan.
Munculnya kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami
sebagai sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini
mengarah pada ujung ekstrem negatif, hingga muncul kesan bahwa
meluruskan langkah atau mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap
tabiat su'ul adab.
Dualisme pengelolaan pendidikan
juga terjadi pada pembinaan yang dilakukan oleh departemen yaitu
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag).
Pembinaan Madrasah di bawah naungan Depag berhadapan dengan Sekolah
umum di bawah pembinaan Depdiknas sering menimbulkan kecemburuan sejak
di tingkat (SD dan MI) hingga perguruan tinggi. Dari alokasi dana,
perhatian, pembinaan manajerial, bantuan buku dan media pembelajaran,
serta penempatan guru, hingga pemberian beasiswa pendidikan lanjut
sering tidak sama antara yang diterima oleh sekolah umum (Depdiknas)
dengan madrasah (Depag).
Kesenjangan antara madrasah
swasta dan madrasah negeri pun tampaknya juga menjadi masalah yang belum
tuntas diselesaikan. Gap tersebut meliputi beberapa hal seperti
pandangan guru, sarana dan prasarana, kualitas input siswa dan
sebagainya yang kesemuanya itu berpengaruh baik langsung maupun tidak
langsung kepada mutu pendidikan. Yang demikian ini karena munculnya SKB
tiga menteri tersebut belum diimbangi penyediaan guru, buku-buku dan
peralatan lain dari departemen terkait (Malik Fadjar, 1998).
D. Madrasah di Era Modern
Persepsi masyarakat terhadap
madrasah di era modern belakangan semakin menjadikan madrasah sebagai
lembaga pendidikan yang unik. Di saat ilmu pengetahuan dan teknologi
berkembang pesat, di saat filsafat hidup manusia modern mengalami krisis
keagamaan (Haedar Nashir, 1999) dan di saat perdagangan bebas dunia
makin mendekati pintu gerbangnya, keberadaan madrasah tampak makin
dibutuhkan orang.
Terlepas dari berbagai problema
yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem seperti masalah
manajemen, kualitas input dan kondisi sarana prasarananya, maupun dari
luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku dan aturan-aturan
lain yang menimbulkan kesan madrasah sebagai 'sapi perah', madrasah yang
memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh model pendidikan
lainnya itu menjadi salah satu tumpuan harapan bagi manusia modern untuk
mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri
dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela
seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi. Sebagai jembatan
antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah,
madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai
lingkungan. Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah barang yang
asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan inovasi model
pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri
lebih mudah mengetahui sampai di mana tingkat penguasaan materi yang
dipelajari.
Dengan metode pengajaran modern
yang disertai audio visual aids, kesan kumuh, jorok, ortodok, dan
exclusive yang selama itu melekat pada pesantren sedikit demi sedikit
terkikis. Masyarakat metropolit makin tidak malu mendatangi dan bahkan
memasukkan putra-putrinya ke pesantren dengan model pendidikan madrasah.
Baik mereka yang sekedar berniat menempatkan putra-putrinya pada
lingkungan yang baik (agamis) hingga yang benar-benar menguasai ilmu
yang dikembangkan di pesantren tersebut, orang makin berebut untuk
mendapatkan fasilitas di sana. Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo,
misalnya, penuh dengan putra putri konglomerat, sekali daftar tanpa
mikir bayar, lengkap sudah fasilitas didapat. Ma'had Al-Zaitun yang
berlokasi di daerah Haurgelis (sekitar 30 KM dari pusat kota Indramayu),
yang baru berdiri pada tahun 1994, juga telah menjadi incaran
masyarakat modern kelas menengah ke atas, bahkan sebagian muridnya
berasal dari negara-negara sahabat, seperti Malaysia, Singapura dan
Brunai Darussalam. Dengan demikian, model pendidikan madrasah di
lingkungan pesantren telah memiliki daya tawar yang cukup tinggi.
Model-model pondok pesantren
modern seperti itu, kini telah bermunculan di berbagai daerah. Di
Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal misalnya, juga ada pondok pesantren
"Darul Amanah" yang mengutamakan penguasaan bahasa asing yakni Bahasa
Arab dan Inggris. Pondok Pesantren yang didirikan oleh para alumni
Pondok Pesantren Modem Gontor Ponorogo pada tahun 1990 itu telah
menampung sekitar 1300 santri (siswa).
Melihat kenyataan seperti itu,
tuntutan pengembangan madrasah akhir-akhir ini dirasa cukup tinggi.
Pengembangan madrasah di pesantren yang pada umumnya berlokasi di luar
kota dirasa tidak cukup memenuhi tuntutan masyarakat. Oleh karena itu
banyak model pendidikan madrasah bermunculan di tengah kota, baik di
kota kecil maupun di kota-kota metropolitan. Meskipun banyak madrasah
yang berkembang di luar lingkungan pesantren, budaya agamanya, moral dan
etika agamanya tetap menjadi ciri khas sebuah lembaga pendidikan Islam.
Etika pergaulan, perilaku dan performance pakaian para santrinya
menjadi daya tarik tersendiri, yang menjanjikan kebahagiaan hidup dunia
akhirat sebagaimana tujuan pendidikan Islam (Al-Abrasyi, 1970;
Jalaluddin dan Said, 1996).
Realitas menunjukkan bahwa
praktek pendidikan nasional dengan kurikulum yang dibuat dan disusun
sedemikian rupa bahkan telah disempurnakan berkali-kali, tidak hanya
gagal menampilkan sosok manusia Indonesia dengan kepribadian utuh,
bahkan membayangkan realisasinya saja terasa sulit. Pendidikan umum (non
madrasah) yang menjadi anak emas pemerintah, di bawah naungan
Depdiknas, telah gagal menunjukkan kemuliaan jati dirinya selama lebih
dari tiga dekade. Misi pendidikan yang ingin melahirkan manusia-manusia
cerdas yang menguasai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
kekuatan iman dan taqwa plus budi pekerti luhur, masih tetap berada pada
tataran ideal yang tertulis dalam susunan cita-cita
(perundang-undangan). Tampaknya hal ini merupakan salah satu indikator
dimana pemerintah kemudian mengakui keberadaan madrasah sebagian dari
sistem pendidikan nasional.
Pendidikan moral yang
dilaksanakan melalui berbagai cara baik kurikuler (Pendidikan Nasional
dan Ketahanan Nasional atau PPKN) maupun ko kurikuler (Penataran P-4)
telah melahirkan elit politik yang tidak mampu tampil sebagai uswatun
hasanah (teladan yang baik) bahkan memberikan kesan korup dan membodohi
rakyat. Kegiatan penataran dan cerdas cermat P-4 (Pedoman Penghayatan
dan pengamalan Pancasila) tidak lebih dari aktivitas ceremonial
karakteristik. Disebut demikian karena kegiatan tersebut telah
meloloskan para juara dari peserta yang paling mampu menghafal buku
pedoman dan memberikan alasan pembenaran, bukan mereka yang mampu
mengimplementasikan nilai-nilai Pancsila dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, para peserta penataran atau cerdas cermat P-4
berlomba-lomba menghafal butir-butir Pancasila tanpa berusaha
melaksanakannya di dalam kehidupan nyata. Itulah di antara faktor yang
mempengaruhi turunnya moralitas bangsa ini (Dradjat, 1971).
Setelah kebobrokan moral dan
mental merebak dan merajalela, orang baru bangun dan sadar bahwa
pendidikan moral yang selama ini dilakukan lebih berorientasi pada
pendidikan politik pembenaran terhadap segala pemaknaan yang lahir atas
restu regim yang berkuasa. Upaya pembinaan moral yang bertujuan
meningkatkan harkat dan martabat manusia sesuai dengan cita-cita
nasional yang tertuang dalam perundang-undangan telah dikesampingkan dan
menjadi jauh dari harapan.
Keberhasilan pendidikan secara
kuantitatif didasarkan pada teori Benjamin S. Bloom (1956) yang dikenal
dengan nama Taxonomy of Educational Objectives, yang mencakup tiga
domain yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Meskipun demikian,
keberhasilan output (lulusan) pendidikan hanyalah merupakan keberhasilan
kognitif. Artinya, anak yang tidak pemah shalat pun, jika ia dapat
mengerjakan tes PAl (Pendidikan Agama Islam) dengan baik maka ia bisa
lulus (berhasil), dan jika nilainya baik, maka ia pun dapat diterima
pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Lain halnya dengan outcome
(performance) seorang alumni Madrasah, bagaimanapun nilai raport dan
hasil ujiannya, moral keagamaan yang melekat pada sikap dan perilakunya
akan menjadi tolok ukur bagi keberhasilan lembaga pendidikan yang
menjadi tempat ia belajar. Karena itulah keberhasilan out-come disebut
keberhasilan afektif dan psikomotorik. Bagi lembaga pendidikan
"Madrasah", kedua standar keberhasilan (output dan outcome) yang
mencakup tiga domain taxonomy of educational objectives, tidak dapat
dipisahkan. Di samping Madrasah mendidik kecerdasan, ia juga membina
moral dan akhlak siswanya (Al-Abrasyi, 1970; Abdullah, 1994). Itulah
nilai plus madrasah dibandingkan sekolah umum yang menekankan pembinaan
kecerdasan intelek (aspek kognitif).
F. Peran Masyarakat dalam Peningkatan Kualitas Madrasah
Munculnya kebijakan otonomi
daerah dan desentralisasi dalam bidang pendidikan yang bertujuan untuk
memberi peluang kepada peserta didik untuk memperoleh keterampilan,
pengetahuan, dan sikap yang dapat memberikan kontribusi kepada
masyarakat, tidak mengagetkan para pengelola madrasah. Madrasah juga
lebih survive dalam kondisi perubahan kurikulum yang sangat cepat,
karena kehidupan madrasah tidak taklid kepada kurikulum nasional.
Manajemen desentralisasi memberikan kewenangan kepada sekolah untuk
melaksanakan PBM sesuai dengan kebutuhan yang dikondisikan untuk
kebutuhan lokal. Dengan demikian, maka madrasah mendapatkan angin segar
untuk bisa lebih exist dalam mengatur kegiatannya tanpa intervensi
pemerintah pusat dalam upaya mencapai peningkatan mutu pendidikannya.
Melalui proses belajar mengajar yang didasari dengan kebutuhan lokal,
kurikulum tidak terbebani dengan materi lain yang sesungguhnya belum
atau bahkan tidak relevan bagi peningkatan pengetahuan dan keterampilan
peserta didik pada jenjang tersebut. Efektivitas proses belajar mengajar
diharapkan bisa tercapai sehingga menghasilkan prestasi belajar yang
lebih tinggi.
Adapun meningkatnya keterlibatan
pemerintah dalam pendidikan menyebabkan para pengelola madrasah
memfokuskan pada program-program tambahan sebagai sarana meningkatkan
kualitas pendidikan. Program remidial dan kursus untuk meningkatkan
perkembangan kognitif, sosial dan emosional dari siswa yang berkemampuan
rendah dalam taraf perekonomian dan hasil belajar merupakan
program-program kompensasi, bukan untuk menggantikan program-program
yang ada.
Sebagai lembaga pendidikan yang
lahir dari masyarakat, madrasah lebih mudah mengintegrasikan lingkungan
eksternal ke dalam organisasi pendidikan, sehingga dapat menciptakan
suasana kebersamaan dan kepemilikan yang tinggi dengan keterlibatan yang
tinggi dari masyarakat. Keterlibatan masyarakat bukan lagi terbatas
seperti peranan orang tua siswa (POMG) yang hanya melibatkan diri di
tempat anaknya sekolah. Melainkan keterlibatan yang didasarkan kepada
kepemilikan lingkungan.
Sesuai dengan jiwa
desentralisasi yang menyerap aspirasi dan partisipasai masyarakat dalam
pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan, masyarakat dituntut
untuk memiliki kepedulian yang tinggi memperhatikan lembaga pendidikan
yang berada di lingkungan setempat. Hal ini dapat menumbuhkan sikap
kepemilikan yang tinggi dengan memberikan kontribusi baik dalam bidang
material, kontrol manajemen, pembinaan, serta bentuk partisipasi lain
dalam rangka meningkatkan eksistensi madrasah yang selanjutnya menjadi
kebanggaan lingkungan setempat.
Akhirnya madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam yang hidup dari, oleh dan untuk masyarakat
belum mendapatkan sentuhan pikiran dan tangan kita semua. Peningkatan
mutu tidak akan terealisir tanpa andil semua pihak. Untuk itu, demi
peningkatan mutunya maka madrasah perlu dibantu, dibela dan
diperjuangkan.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
Al-Abrasyi, Moh. Athiyah, (1970). Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang.
Bloom, B.5. (1956). Toxomony of Educational Objectives, the
Classification of Educational Goals, Hand Book I: Cogniti Domain. New
York: Long mans, Green and Co.
Dradjat, Z. (1971). Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Darmuin (1998). Prospek Pendidikan Islam di Indonesia: Suatu Telaah
terhadap Pesantren dan Madrasah. Dalam Chabib Thoha dan Abdul Muth'i.
PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan
Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sarna dengan Fakultas
Tarbiyah lAIN Walisongo Semarang.
Dhofier, Z. (1982). Tradisi Pesantren.Jakarta: LP3ES.
Fadjar, M.A. (1998). Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan.
Jalaluddin dan Said, U. (1996). Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan. Jakarta: Grafindo Persada.
Nashir, H. (1999). Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarijo, M. (1980). Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bakti.
Sternbrink. K.A. (1986). Pesantren, Madrasah dan Sekolah. Jakarta: LP3ES.
Thoha, Chabib, dan Muth'i, A. (1998). PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi
dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar bekerja sama dengan Fak. Tarbiyah lAIN Walisongo Sernarang.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasinal (UU RI, No.2 Tahun 1989) dan Peraturan Pelaksanaannya, (1994). Jakarta: Sinar Grafika.