SELAMAT DATANG DI BLOG MADRASAH DINIYAH AL-MUWAFAOH, DENGAN MEDIA BLOG INI KAMI MENERIMA TITIPAN INFAK ATAU SODAQOH DARI KAUM MUSLIMIN DAN MUSLIMAT. SEMOGA ALLAH MELIPAT GANDAKAN PAHALA BAGI KITA SEMUA

Senin, 25 Maret 2013

MAKALAH MADRASAH DINIYAH SEBAGAI PENDIDIKAN FORMAL ( PP No. 55 Tahun 2007 )

 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bersama, sebelum tahun 1970 di Indonesia terdapat lembaga pendidikan Islam yang bernama Madrasah Diniyah. Lembaga pendidikan jenis ini mungkin lebih tepat disebut sebagai pendidikan non formal. Biasanya jam pelajaran mengambil waktu sore hari, mulai waktu ashar sampai waktu maghrib. Atau, memulai bakda isya’ hingga sekitar jam sembilan malam.
Madrasah Diniyah sendiri adalah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran secara klasikal yang bertujuan untuk memberi tambahan pengetahuan agama Islam kepada pelajar-pelajar yang merasa kurang menerima pelajaran agama Islam di sekolahannya.
Seiring perubahan zaman, madrasah diniyah yang dulunya hanya sebagai pendidikan non formal yang di asuh oleh para kyai dan masyarakat di desa, kini manjadi pendidikan yang formal. Dengan perubahan tersebut berubah pula status kelembagaannya, yang dulunya dari jalur luar sekolah yang dikelola penuh oleh masyarakat menjadi sekolah di bawah pembinaan Departemen Agama.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan membahas tentang pengertian madrasah diniyah, ciri – cirinya dan bagaimana madrasah diniyah sebagai pendidikan formal.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apakah pengertian dari madrasah diniyah?
2.      Apakah ciri – ciri madrasah diniyah?
3.      Bagaimanakah madrasah diniyah sebagai pendidikan formal?
C.    Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk memahami pengertian dari madrasah diniyah
2.      Untuk memahami ciri – ciri dari madrasah diniyah
3.      Untuk memahami bagaimana madrasah diniyah sebagai pendidikan formal


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Madrasah Diniyah
Secara harfiah madrasah diartiakan sebagai tempat belajar para pelajar atau tempat untuk memberikan pelajaran. Kata madrasah juga ditemukan dalam bahasa arab Hebrew atau aramy yang berati membaca dan belajar atau tempat duduk untuk belajar. dari kedua bahasa tersebut, kata madrasah mempunyai arti yang sama yaitu tempat belajar. jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata madrasah memiliki arti sekolah karena pada mulanya kata sekolah itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.
Sedangkan madrasah diniyah dilihat dari stuktur bahasa arab berasal dari dua kata madrasah dan al-din. Kata madrasah dijadikan nama tempat dari asal kata darosa yang berarti belajar. Jadi madrasah mempunyai makna arti belajar, sedangkan al-din dimaknai dengan makna keagamaan. Dari dua stuktur kata yang dijadikan satu tersebut, madrasah diniyah berarti tempat belajar masalah keagamaan, dalam hal ini agama islam.
Kemudian mengenai pengertian madrasah diniyah itu sendiri, ada beberapa pendapat:
Yang pertama, madrasah diniyah adalah  lembaga pendidikan yang terfokus pada pendidikan Agama
Yang kedua, madrasah diniyah atau Pendidikan diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan.
Yang Ketiga, madrasah diniyah adalah bagian terpadu dari pendidikan nasional untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama.
Yang Keempat, madrasah diniyah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran secara klasikal yang bertujuan untuk memberi tambahan pengetahuan agama Islam kepada pelajar-pelajar yang merasa kurang menerima pelajaran agama Islam di sekolahannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa madrasah diniyah adalah lembaga pendidikan Islam yang memberi pendidikan dan pengajaran agama islam untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama Islam.
B.     Ciri – ciri Madrasah Diniyah
Dengan meninjau secara pertumbuhan dan banyaknya aktifitas yang diselenggarakan madrasah diniyah, maka dapat dikatakan ciri-ciri madrasah diniyah adalah sebagai berikut:
1.      Madrasah diniyah merupakan pelengkap dari pendidikan formal ( sekolah umum ).
2.      Madrasah diniyah merupakan spesifikasi sesuai dengan kebutuhan dan tidak memerlukan syarat yang ketat serta dapat diselenggarakan dimana saja.
3.      Madrasah diniyah tidak dibagi atas jenjang atau kelas-kelas secara ketat.
4.      Madrasah diniyah dalam materinya bersifat praktis dan khusus.
5.      Madrasah diniyah waktunya relatif singkat, dan warga didiknya tidak harus sama.
6.      Madrasah diniyah mempunyai metode pengajaran yang bermacam-macam.
C.    Madrasah Diniyah Sebagai Pendidikan Formal
Sebagaimana terdapat dalam PP. No. 55 tahun 2007 pasal 15, bahwa madrasah diniyah atau Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Dalam pasal selanjutnya pasal 16 ayat ( 1 ) dan ( 2 ) dijelaskan bahwa pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat. Sedangkan untuk pendidikan diniyah tingkat menengah menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
Mengenai syarat-syarat menjadi peserta didik atau siswa dalam madrasah diniyah, telah di atur dalam PP. No. 55 tahun 2007 pasal ( 1 ), ( 2 ), ( 3 ), dan ( 4 ) bahwa untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar, seseorang harus berusia sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun.akan tetapi dalam hal daya tampung satuan pendidikan masih tersedia maka seseorang yang berusia 6 (enam) tahun dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar. Kemudian untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah pertama, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah dasar atau yang sederajat. Dan untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah atas, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah menengah pertama atau yang sederajat.
Mengenai kurikulum madrasah diniyah sendiri, dalam  PP No. 55 tahun 2007 pasal 18 ayat ( 1 ) dan ( 2 ) dijelaskan bahwa madrasah diniyah dasar  atau pendidikan diniyah dasar formal harus wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan ( PKn ), bahasa Indonesia ( BI ), matematika, dan ilmu pengetahuan alam ( IPA ) dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar. Sedangkan Kurikulum pendidikan diniyah untuk tingkat menengah formal harus wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan ( PKn ), bahasa Indonesia ( BI ), matematika, ilmu pengetahuan alam ( IPA ), serta seni dan budaya ( SB ).
Sebagaimana lembaga pendidikan formal pada umumnya, dalam madrasah diniyah atau pendidikan diniyah di akhir pendidikan juga dilakukan sebuah ujian yang bersifat nasional atau ujian yang dilakukan seluruh indonesia. Ujian nasional pendidikan diniyah dasar dan menengah diselenggarakan untuk menentukan standar pencapaian kompetensi peserta didik atas ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam. Mengenai ketentuan lebih lanjut tentang ujian nasional pendidikan diniyah dan standar kompetensinya ditetapkan dengan peraturan Menteri Agama dengan berpedoman kepada Standar Nasional Pendidikan.
Pada PP. No. 55 tahun 2007 pasal 20 ( 1 ), ( 2 ), ( 3 ), dan ( 4 ) juga dijelaskan bahwa pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, vokasi, dan profesi berbentuk universitas, institut, atau sekolah tinggi.
Kemudian Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan untuk setiap program studi pada perguruan tinggi keagamaan Islam selain menekankan pembelajaran ilmu agama, wajib memasukkan pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Indonesia. Mata kuliah dalam kurikulum program studi memiliki beban belajar yang dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks). Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.  


PENUTUP
Kesimpulan
1.      Pengertian madrasah diniyah adalah lembaga pendidikan Islam yang memberi pendidikan dan pengajaran agama islam untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama Islam.
2.      Ciri-ciri madrash diniyah adalah Madrasah diniyah merupakan pelengkap dari pendidikan formal ( sekolah umum ), merupakan spesifikasi sesuai dengan kebutuhan dan tidak memerlukan syarat yang ketat serta dapat diselenggarakan dimana saja, tidak dibagi atas jenjang atau kelas-kelas secara ketat, dalam materinya bersifat praktis dan khusus, waktunya relatif singkat, dan warga didiknya tidak harus sama, mempunyai metode pengajaran yang bermacam-macam.
3.      Madrasah sebagai pendidikan formal adalah adanya kesetaraan antara madrasah diniyah dengan lembaga-lembaga formal yang lainnya.



TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP PENDIDIKAN ANAK

Secara umum, peranan orang tua dalam pendidikan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan watak dan kepribadian anak. Jika dipersentase, maka peran orang tua akan mencapai 60%, sedangkan pengaruh lingkungan bergaul (bermain) 20%, dan lingkungan sekolah (sekolah regular atau non pesantren, sekolah pergi pulang) juga 20%. Apabila peran orang tua tidak diperankan secara baik dan benar maka pengaruh pendidikan 60% tersebut akan ditelan habis oleh lingkungannya. Lingkungan yang paling besar berpengaruh kepada anak adalah lingkungan bergaulnya, bukan lingkungan sekolahnya.
Sedangkan pengaruh pendidikan anak pada pondok pesantren sebagai tempat mengenyam pendidikan dan tempat bergaul selama 24 jam adalah 80%, sedangkan pengaruh bawaan dari lingkungan keluarga adalah 20%. Apabila pesantren mampu mempersentasekan perannya dengan baik, maka keberhasilan pendidikan anak akan lebih menjanjikan daripada sekolah regular.
Oleh karena itu, hendaknya para orang tua memperhatikan dengan sungguh-sungguh perannya dalam pendidikan anak, termasuk memilih lembaga pendidikan yang tepat bagi anaknya. Penulis telah melakukan observasi di banyak tempat, terhadap sejumlah alumni lembaga pendidikan, baik yang regular maupun pesantren, maka tingkat kesuksesan yang hakiki, yakni ketaatan kepada Allah Subhaanahu wa ta’aala dan kepatuhan kepada kedua orang tua, lebih besar diraih oleh sejumlah besar alumni pondok pesantren daripada sekolah reguler walaupun berlabel Islam. Oleh karenanya, apabila anak-anak sudah mencapai usia mandiri, yaitu 10 tahun ke atas atau paling tidak telah tamat sekolah dasar, hendaklah orang tua tidak ragu-ragu untuk menyerahkan pendidikan anaknya kepada pesantren, tentunya bermanhaj salaf, jika orang tua tidak memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan pesantren.
Anak merupakan karunia sekaligus ujian bagi manusia. Anak merupakan amanah yang menjadi tanggung jawab orang tuanya. Ketika pertama kali dilahirkan ke dunia, seorang anak dalam keadaan fitrah dan berhati suci lagi bersih. Lalu kedua orang tuanyalah yang memegang peranan penting pada perkembangan berikutnya, apakah keduanya akan mempertahankan fitrah dan kesucian hatinya, ataukah malah merusak dan mengotorinya.
Pendidikan terhadap anak merupakan bagian terpenting dalam kehidupan berumah tangga. Sebab salah satu tujuan utama pernikahan adalah lahirnya keturunan yang nantinya akan menjadi generasi penerus. Generasi penerus yang tumbuh tanpa didampingi pendidikan agama yang memadai justru akan menjadi mangsa dan korban penjajahan peradaban lain. Namun ironisnya hal itu tidak disadari oleh kebanyakan pasangan suami istri, sehingga pendidikan agama kurang mendapatkan perhatian dari mereka.
Dalam pandangan kebanyakan orang tua di masyarakat kita, pendidikan yang layak dan baik adalah dengan menyekolahkan anak di sekolah “favorit”, dengan harapan anak tersebut akan dapat berprestasi, sehingga nantinya memiliki masa depan yang “sukses dan mapan”. Tidak peduli apakah sekolah tersebut mengajarkan nilai-nilai Islam ataukah tidak. Bahkan lebih dari itu, mereka tidak peduli meskipun sekolah tersebut dikelola oleh pendidikan sekuler atau non Islam. Malah mereka berpandangan bahwa jika ingin mendapatkan kualitas “pendidikan yang berkelas”, maka harus menyekolahkan anak-anak mereka di lembaga-lembaga pendidikan non Islam. Arena lembaga-lembaga tersebut mengelola dan menyelenggarakan pendidikan secara “profesional”, sementara sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga Islam “dikelola dengan apa adanya dan jauh dari profesionalisme.” Itulah anggapan mereka secara umum.
Ukuran kesuksesan dalam pandangan mereka adalah ketika seseorang sukses secara materi, atau sukses meraih kedudukan tinggi. Mereka akan sangat bangga dan merasa berhasil mendidik dan membesarkan anak-anak mereka, manakala anak-anak tersebut sukses menduduki suatu jabatan tinggi, atau berprofesi dengan profesi bergengsi atau menjadi pebisnis besar. Mereka tidak peduli apakah anak-anak mereka mengerti dan mematuhi tuntunan agamanya, ataukah malah menjauh dari itu semua dan tidak mempedulikannya. Mereka hanya mengenal Islam pada momen-momen tertentu saja, setelah itu mereka kembali melupakan dan tidak mempedulikannya.
Seseorang tidak mustahil akan digugat oleh anak yang dikasihinya kelak di hadapan Allah. Anak yang selama hidup di dunia sangat dia kasihi dan dia banggakan, dia sekolahkan di sekolah terbaik, dia sediakan baginya segala fasilitas dan dia penuhi segala kebutuhan materinya, berubah menjadi musuh yang menggugatnya. Segala kebutuhannya secara materi memang telah dia penuhi, namun pendidikan agamanya tidak pernah dia pedulikan, sehingga anak tersebut tumbuh dalam kebodohan dan jauh dari agamanya. Dia tidak mengerti bagaimana seharusnya berakidah, dan tidak dapat membedakan mana tauhid dan mana syirik. Dia tidak tahu tata cara dan kewajiban shalat serta berbagai jenis ketaatan lainnya, sehingga dia meremehkannya. Dia tidak dapat membedakan mana yang halal dan mana yang haram, sehingga semuanya diraup habis tanpa memilih dan memilah, apakah ini sesuatu yang dibolehkan ataukah dilarang. Maka hancurlah agamanya, rusaklah perilakunya, dan suramlah masa depannya di akhirat. Karenanya, tidak heran jika anak tersebut nantinya akan menggugat orang tuanya, karena kelalaian orang tuanyalah yang membuatnya terjerumus dalam kesengsaraan.
Karenanya, sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang tua untuk memberikan perhatian lebih pada pendidikan agama anak-anaknya, melebihi perhatiannya terhadap hal lain, bahkan terhadap makan, minum dan kesehatannya. Karena kelalaian terhadap kebutuhan gizi dan kondisi kesehatan anak hanya akan berdampak pada memburuknya kesehatan anak tersebut, atau maksimal mengantarkannya pada kematian. Namun kelalaian terhadap pendidikan agamanya akan sangat fatal akibatnya, karena akan membuatnya sengsara selama-lamanya dalam kehidupan akhirat. Sungguh sangat mengherankan sikap sebagian orang tua, yang hanya bersedih dan menangis ketika tubuh anaknya sakit atau mati, namun tidak demikian halnya ketika hati dan jiwanya yang sakit atau mati.

Rabu, 20 Maret 2013

MADRASAH | THE CENTRE OF EXCELLENCE



MADRASAH SEBAGAI THE CENTRE OF EXCELLENCE
A. Pendahuluan

Dalam perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah negeri muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahimya Islam (Mekkah). Meskipun Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh, dunia internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan Pendidikan Agama Islam di Indonesia.

Lembaga Pendidikan Agama Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk pesantren (Sarijo, 1980; Dhofier, 1982). Dengan karaktemya yang khas "religius oriented", pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam.

Masuknya model pendidikan sekolah membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi umat Islam saat itu, yang mengarah pada lahirnya dikotomi ilmu agama (Islam) dan ilmu sekuler (ilmu umum dan ilmu sekuler Kristen). Dualisme model pendidikan yang konfrontatif tersebut telah mengilhami munculnya gerakan reformasi dalam pendidikan pada awal abad dua puluh. Gerakan reformasi tersebut bertujuan mengakomodasi sistem pendidikan sekolah ke dalam lingkungan pesantren (Toha dan Mu'thi, 1998). Corak model pendidikan ini dengan cepat menyebar tidak hanya di pelosok pulau Jawa tetapi juga di luar pulau Jawa. Dari situlah embrio madrasah lahir.


B. Eksistensi Madrasah

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda dibanding pesantren. Ia lahir pada abad 20 dengan munculnya Madrasah Manba'ul Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909 (Malik Fadjar, 1998). Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada. Pembaharuan tersebut, menurut Karl Sternbrink (1986), meliputi tiga hal, yaitu:

1. Usaha menyempumakan sistem pendidikan pesantren,
2. Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan
3. Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri) menandakan bahwa eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Di samping itu, munculnya SKB tiga menteri tersebut juga dinilai sebagai langkah positif bagi peningkatan mutu madrasah baik dari status, nilai ijazah maupun kurikulumnya (Malik Fadjar, 1998). Di dalam salah satu diktum pertimbangkan SKB tersebut disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.


C. Problema Madrasah

Sebagai upaya inovasi dalam Sistem Pendidikan Islam, madrasah tidak lepas dari berbagai problema yang dihadapi. Problema-problema tersebut, menurut Darmu'in (1998), antara lain:

1. Madrasah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan madrasah bukan merupakan kelanjutan pesantren, meskipun diakui bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia.

2. Terdapat dualisme pemaknaan terhadap madrasah. Di satu sisi, madrasah diidentikkan dengan sekolah karena memiliki muatan secara kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain, madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan madrasah diniyah.

Dengan demikian, sebagai sub sistem pendidikan nasional, madrasah belum memiliki jati diri yang dapat dibedakan dari lembaga pendidikan lainnya. Efek pensejajaran madrasah dengan sekolah umum yang berakibat berkurangnya proporsi pendidikan agama dari 60% agama dan 40% umum menjadi 30% agama dan 70% umum dirasa sebagai tantangan yang melemahkan eksistensi pendidikan Islam. Beberapa permasalahan yang muncul kemudian, antara lain: 

1. Berkurangnya muatan materi pendidikan agama. Hal ini dilihat sebagai upaya pendangkalan pemahaman agama, karena muatan kurikulum agama sebelum SKB dirasa belum mampu mencetak muslim sejati, apalagi kemudian dikurangi.

2. Tamatan Madrasah serba tanggung. Pengetahuan agamanya tidak mendalam sedangkan pengetahuan umumnya juga rendah.

Diakui bahwa model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara, memunculkan dualisme sistem Pendidikan di Indonesia. Dualisme pendidikan di Indonesia telah menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikhotomi keilmuan ini justru menjadi garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha menyatukan keduanya.

Dualisme pendidikan Islam juga muncul dalam bidang manajerialnya, khususnya di lembaga swasta. Lembaga swasta umumnya memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah dan ketua yayasan (atau pengurus). Meskipun telah ada garis kewenangan yang memisahkan kedua top manager tersebut, yakni kepala madrasah memegang kendali akademik sedangkan ketua yayasan (pengurus) membidangi penyediaan sarana dan prasarana, sering di dalam praktik terjadi overlapping. Masalah ini biasanya lebih buruk jika di antara pengurus yayasan tersebut ada yang menjadi staf pengajar. Di samping ada kesan mematai-matai kepemimpinan kepala madrasah, juga ketika staf pengajar tersebut melakukan tindakan indisipliner (sering datang terlambat), kepala madrasah merasa tidak berdaya menegumya.

Praktek manajemen di madrasah sering menunjukkan model manajemen tradisional, yakni model manajemen paternalistik atau feodalistik. Dominasi senioritas semacam ini terkadang mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Munculnya kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini mengarah pada ujung ekstrem negatif, hingga muncul kesan bahwa meluruskan langkah atau mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su'ul adab.

Dualisme pengelolaan pendidikan juga terjadi pada pembinaan yang dilakukan oleh departemen yaitu Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag). Pembinaan Madrasah di bawah naungan Depag berhadapan dengan Sekolah umum di bawah pembinaan Depdiknas sering menimbulkan kecemburuan sejak di tingkat (SD dan MI) hingga perguruan tinggi. Dari alokasi dana, perhatian, pembinaan manajerial, bantuan buku dan media pembelajaran, serta penempatan guru, hingga pemberian beasiswa pendidikan lanjut sering tidak sama antara yang diterima oleh sekolah umum (Depdiknas) dengan madrasah (Depag).

Kesenjangan antara madrasah swasta dan madrasah negeri pun tampaknya juga menjadi masalah yang belum tuntas diselesaikan. Gap tersebut meliputi beberapa hal seperti pandangan guru, sarana dan prasarana, kualitas input siswa dan sebagainya yang kesemuanya itu berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung kepada mutu pendidikan. Yang demikian ini karena munculnya SKB tiga menteri tersebut belum diimbangi penyediaan guru, buku-buku dan peralatan lain dari departemen terkait (Malik Fadjar, 1998).

D. Madrasah di Era Modern

Persepsi masyarakat terhadap madrasah di era modern belakangan semakin menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang unik. Di saat ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, di saat filsafat hidup manusia modern mengalami krisis keagamaan (Haedar Nashir, 1999) dan di saat perdagangan bebas dunia makin mendekati pintu gerbangnya, keberadaan madrasah tampak makin dibutuhkan orang.

Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana prasarananya, maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku dan aturan-aturan lain yang menimbulkan kesan madrasah sebagai 'sapi perah', madrasah yang memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya itu menjadi salah satu tumpuan harapan bagi manusia modern untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi. Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah barang yang asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan inovasi model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri lebih mudah mengetahui sampai di mana tingkat penguasaan materi yang dipelajari.

Dengan metode pengajaran modern yang disertai audio visual aids, kesan kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang selama itu melekat pada pesantren sedikit demi sedikit terkikis. Masyarakat metropolit makin tidak malu mendatangi dan bahkan memasukkan putra-putrinya ke pesantren dengan model pendidikan madrasah. Baik mereka yang sekedar berniat menempatkan putra-putrinya pada lingkungan yang baik (agamis) hingga yang benar-benar menguasai ilmu yang dikembangkan di pesantren tersebut, orang makin berebut untuk mendapatkan fasilitas di sana. Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, misalnya, penuh dengan putra putri konglomerat, sekali daftar tanpa mikir bayar, lengkap sudah fasilitas didapat. Ma'had Al-Zaitun yang berlokasi di daerah Haurgelis (sekitar 30 KM dari pusat kota Indramayu), yang baru berdiri pada tahun 1994, juga telah menjadi incaran masyarakat modern kelas menengah ke atas, bahkan sebagian muridnya berasal dari negara-negara sahabat, seperti Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Dengan demikian, model pendidikan madrasah di lingkungan pesantren telah memiliki daya tawar yang cukup tinggi. 

Model-model pondok pesantren modern seperti itu, kini telah bermunculan di berbagai daerah. Di Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal misalnya, juga ada pondok pesantren "Darul Amanah" yang mengutamakan penguasaan bahasa asing yakni Bahasa Arab dan Inggris. Pondok Pesantren yang didirikan oleh para alumni Pondok Pesantren Modem Gontor Ponorogo pada tahun 1990 itu telah menampung sekitar 1300 santri (siswa).

Melihat kenyataan seperti itu, tuntutan pengembangan madrasah akhir-akhir ini dirasa cukup tinggi. Pengembangan madrasah di pesantren yang pada umumnya berlokasi di luar kota dirasa tidak cukup memenuhi tuntutan masyarakat. Oleh karena itu banyak model pendidikan madrasah bermunculan di tengah kota, baik di kota kecil maupun di kota-kota metropolitan. Meskipun banyak madrasah yang berkembang di luar lingkungan pesantren, budaya agamanya, moral dan etika agamanya tetap menjadi ciri khas sebuah lembaga pendidikan Islam. Etika pergaulan, perilaku dan performance pakaian para santrinya menjadi daya tarik tersendiri, yang menjanjikan kebahagiaan hidup dunia akhirat sebagaimana tujuan pendidikan Islam (Al-Abrasyi, 1970; Jalaluddin dan Said, 1996).

Realitas menunjukkan bahwa praktek pendidikan nasional dengan kurikulum yang dibuat dan disusun sedemikian rupa bahkan telah disempurnakan berkali-kali, tidak hanya gagal menampilkan sosok manusia Indonesia dengan kepribadian utuh, bahkan membayangkan realisasinya saja terasa sulit. Pendidikan umum (non madrasah) yang menjadi anak emas pemerintah, di bawah naungan Depdiknas, telah gagal menunjukkan kemuliaan jati dirinya selama lebih dari tiga dekade. Misi pendidikan yang ingin melahirkan manusia-manusia cerdas yang menguasai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kekuatan iman dan taqwa plus budi pekerti luhur, masih tetap berada pada tataran ideal yang tertulis dalam susunan cita-cita (perundang-undangan). Tampaknya hal ini merupakan salah satu indikator dimana pemerintah kemudian mengakui keberadaan madrasah sebagian dari sistem pendidikan nasional.

Pendidikan moral yang dilaksanakan melalui berbagai cara baik kurikuler (Pendidikan Nasional dan Ketahanan Nasional atau PPKN) maupun ko kurikuler (Penataran P-4) telah melahirkan elit politik yang tidak mampu tampil sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) bahkan memberikan kesan korup dan membodohi rakyat. Kegiatan penataran dan cerdas cermat P-4 (Pedoman Penghayatan dan pengamalan Pancasila) tidak lebih dari aktivitas ceremonial karakteristik. Disebut demikian karena kegiatan tersebut telah meloloskan para juara dari peserta yang paling mampu menghafal buku pedoman dan memberikan alasan pembenaran, bukan mereka yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancsila dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, para peserta penataran atau cerdas cermat P-4 berlomba-lomba menghafal butir-butir Pancasila tanpa berusaha melaksanakannya di dalam kehidupan nyata. Itulah di antara faktor yang mempengaruhi turunnya moralitas bangsa ini (Dradjat, 1971).

Setelah kebobrokan moral dan mental merebak dan merajalela, orang baru bangun dan sadar bahwa pendidikan moral yang selama ini dilakukan lebih berorientasi pada pendidikan politik pembenaran terhadap segala pemaknaan yang lahir atas restu regim yang berkuasa. Upaya pembinaan moral yang bertujuan meningkatkan harkat dan martabat manusia sesuai dengan cita-cita nasional yang tertuang dalam perundang-undangan telah dikesampingkan dan menjadi jauh dari harapan.

Keberhasilan pendidikan secara kuantitatif didasarkan pada teori Benjamin S. Bloom (1956) yang dikenal dengan nama Taxonomy of Educational Objectives, yang mencakup tiga domain yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Meskipun demikian, keberhasilan output (lulusan) pendidikan hanyalah merupakan keberhasilan kognitif. Artinya, anak yang tidak pemah shalat pun, jika ia dapat mengerjakan tes PAl (Pendidikan Agama Islam) dengan baik maka ia bisa lulus (berhasil), dan jika nilainya baik, maka ia pun dapat diterima pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Lain halnya dengan outcome (performance) seorang alumni Madrasah, bagaimanapun nilai raport dan hasil ujiannya, moral keagamaan yang melekat pada sikap dan perilakunya akan menjadi tolok ukur bagi keberhasilan lembaga pendidikan yang menjadi tempat ia belajar. Karena itulah keberhasilan out-come disebut keberhasilan afektif dan psikomotorik. Bagi lembaga pendidikan "Madrasah", kedua standar keberhasilan (output dan outcome) yang mencakup tiga domain taxonomy of educational objectives, tidak dapat dipisahkan. Di samping Madrasah mendidik kecerdasan, ia juga membina moral dan akhlak siswanya (Al-Abrasyi, 1970; Abdullah, 1994). Itulah nilai plus madrasah dibandingkan sekolah umum yang menekankan pembinaan kecerdasan intelek (aspek kognitif).

F. Peran Masyarakat dalam Peningkatan Kualitas Madrasah

Munculnya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi dalam bidang pendidikan yang bertujuan untuk memberi peluang kepada peserta didik untuk memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat, tidak mengagetkan para pengelola madrasah. Madrasah juga lebih survive dalam kondisi perubahan kurikulum yang sangat cepat, karena kehidupan madrasah tidak taklid kepada kurikulum nasional. Manajemen desentralisasi memberikan kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan PBM sesuai dengan kebutuhan yang dikondisikan untuk kebutuhan lokal. Dengan demikian, maka madrasah mendapatkan angin segar untuk bisa lebih exist dalam mengatur kegiatannya tanpa intervensi pemerintah pusat dalam upaya mencapai peningkatan mutu pendidikannya. Melalui proses belajar mengajar yang didasari dengan kebutuhan lokal, kurikulum tidak terbebani dengan materi lain yang sesungguhnya belum atau bahkan tidak relevan bagi peningkatan pengetahuan dan keterampilan peserta didik pada jenjang tersebut. Efektivitas proses belajar mengajar diharapkan bisa tercapai sehingga menghasilkan prestasi belajar yang lebih tinggi.

Adapun meningkatnya keterlibatan pemerintah dalam pendidikan menyebabkan para pengelola madrasah memfokuskan pada program-program tambahan sebagai sarana meningkatkan kualitas pendidikan. Program remidial dan kursus untuk meningkatkan perkembangan kognitif, sosial dan emosional dari siswa yang berkemampuan rendah dalam taraf perekonomian dan hasil belajar merupakan program-program kompensasi, bukan untuk menggantikan program-program yang ada.

Sebagai lembaga pendidikan yang lahir dari masyarakat, madrasah lebih mudah mengintegrasikan lingkungan eksternal ke dalam organisasi pendidikan, sehingga dapat menciptakan suasana kebersamaan dan kepemilikan yang tinggi dengan keterlibatan yang tinggi dari masyarakat. Keterlibatan masyarakat bukan lagi terbatas seperti peranan orang tua siswa (POMG) yang hanya melibatkan diri di tempat anaknya sekolah. Melainkan keterlibatan yang didasarkan kepada kepemilikan lingkungan.

Sesuai dengan jiwa desentralisasi yang menyerap aspirasi dan partisipasai masyarakat dalam pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan, masyarakat dituntut untuk memiliki kepedulian yang tinggi memperhatikan lembaga pendidikan yang berada di lingkungan setempat. Hal ini dapat menumbuhkan sikap kepemilikan yang tinggi dengan memberikan kontribusi baik dalam bidang material, kontrol manajemen, pembinaan, serta bentuk partisipasi lain dalam rangka meningkatkan eksistensi madrasah yang selanjutnya menjadi kebanggaan lingkungan setempat.

Akhirnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang hidup dari, oleh dan untuk masyarakat belum mendapatkan sentuhan pikiran dan tangan kita semua. Peningkatan mutu tidak akan terealisir tanpa andil semua pihak. Untuk itu, demi peningkatan mutunya maka madrasah perlu dibantu, dibela dan diperjuangkan.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka



Al-Abrasyi, Moh. Athiyah, (1970). Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang.

Bloom, B.5. (1956). Toxomony of Educational Objectives, the Classification of Educational Goals, Hand Book I: Cogniti Domain. New York: Long mans, Green and Co.

Dradjat, Z. (1971). Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.

Darmuin (1998). Prospek Pendidikan Islam di Indonesia: Suatu Telaah terhadap Pesantren dan Madrasah. Dalam Chabib Thoha dan Abdul Muth'i. PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sarna dengan Fakultas Tarbiyah lAIN Walisongo Semarang.

Dhofier, Z. (1982). Tradisi Pesantren.Jakarta: LP3ES.

Fadjar, M.A. (1998). Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan.

Jalaluddin dan Said, U. (1996). Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan. Jakarta: Grafindo Persada.

Nashir, H. (1999). Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sarijo, M. (1980). Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bakti.

Sternbrink. K.A. (1986). Pesantren, Madrasah dan Sekolah. Jakarta: LP3ES.

Thoha, Chabib, dan Muth'i, A. (1998). PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Fak. Tarbiyah lAIN Walisongo Sernarang.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasinal (UU RI, No.2 Tahun 1989) dan Peraturan Pelaksanaannya, (1994). Jakarta: Sinar Grafika.

Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah MADRASAH | THE CENTRE OF EXCELLENCE, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini. Salam saya Ibrahim Lubis. email : darodjat2002@gmail.com

Percakapan Bahasa Arab



المحادثة : قبل النوم
Percakapan sebelum tidur

حسن                 :       يا أحمد !  أين تنام؟
                                Ya Ahmad! Di mana kamu tidur?                                          
     
أحمد                  :       أنام فى غرفة النوم.
                                                                    Saya tidur di Kamar tidur

حسن                 :       مع من تنام فى غرفة النوم؟                              
                                                        Bersama siapa kamu tidur di kamar tidur?

أحمد       :                  أنام مع أخى الصغير.
                                                     Saya tidur bersama adik laki - laki

حسن                 :       فى أية ساعة تنام ليلا؟
                                         Pada jam berapa kamu tidur malam?

أحمد                  :       فى الساعة التاسعة تماما
                                          Pada jam 9 tepat

حسن                 :       كم الساعة الأن؟
                                    Jam berapa sekarang?

أحمد                  :       الأن الساعة الثامنة.
                                                Sekarang jam 8

حسن                 :       ماذا على السرير؟
                       Apa yang berada di atas tempat?

أحمد                  :       على السرير طراحة
                                    Ditmpat tidur ada kasur

حسن                 :       وماذا على الطراحة؟
                        Dan apa yang ada di atas kasur?

أحمد                  :       على الطراحة وسادة، حصير وناموسية.
       Di atas kasur adabantal, tikar dan kelambu.

حسن                 :       ماذا تفعل قبل النوم يا أحمد؟
                            Apa yang kamu kerjakan sebelum tidur hai Ahmad?

أحمد                  :       أطالع دروسي
                              Saya mentela’ah pelajaranku.

حسن                 :       أي درس تطالع؟
                    Pelajaran apa yang kamu tela’ah?

أحمد                  :       أطالع اللغة الإندونسية
                    Saya menela’ah Bahasa Indonesia

حسن                 :       أي دروس أصعب رأيك؟
                 Pelajaran apa yang sulit menurutmu?

أحمد                  :       اللغة الإنجلزية وعلم الحساب
                    Bahasa Inggris dan Maatematika

حسن                 :       كيف دعاء قبل النوم؟
                       Bagaimana Do’a sebelum tidur?
أحمد                  :       دعاء قبل النوم هي باسمك اللهم أحيا  وأموت
Do’a sebelum tidur yaitu dengan menyebut namamu ya Allah aku hidup dan mati.



المحادثة : بعد النوم
Percakapan sesudah tidur

إبراهيم               :       فى أية ساعة تقوم من النوم، يا هيريادي؟
                                 Pada jam berapa berapa kamu bangun tidur hai Heriadi?

هيريادي             :       أقوم من النوم فى الساعة الرابعة صباحا
                                                                  Saya bangun tidur pada jam 4 pagi

إبراهيم               :       ماذا تفعل بعد النوم؟
                                                    Apa yang kamu lakukan setelahbangun tidur?

هيريادي             :       أغتسل وأصلى الصبح
                                                   Saya mandi dan sholat subuh

إبراهيم               :       مع من تصلى الصبح؟
                                                                  Bersama siapa kamu sholat subuh?

هيريادي             :       أصلى الصبح مع أبي وأمي وإخوتي
                 Saya shalat subuh berssama Ayahku, Ibuku dan adek perempuanku.

إبراهيم               :       كم ركعة تصلى الصبح؟
                                                                   Berapa raka’at kamu shalat subuh?

هيريادي             :       أصلى الصبح ركعتين
                        Saya shalat subuh dua raka’at

إبراهيم               :       اين تصلى الصبح؟
                                                                             Di mana kamu shalat subuh?

هيريادي             :       أصلى الصبح  جماعة فى المسجد
                                        Saya shalat subuh dengan bersama – sama di masjid

إبراهيم               :       يا زبيدة! ماذا تفعلين بعد النوم؟
                            Hai Zubaidah! Apa yang kamu lakukan setelah bangun tidur?

زبيدة                 :       أساعد أمي لطبخ الأطعمة للإفطار
                          Saya membantu ibuku memasak makanan untuk sarapan pagi.

إبراهيم               :       من تكنس ساحة البيت؟
                                                              Siapa yang menyapu halaman rumah?

زبيدة                 :       أختى الصغيرة
                                                     Adik perempuanku

إبراهيم               :       ما سم أختك؟
                                                      Siapa nama saudaraperempuanmu?

زبيدة                 :       إسمها ليلى
                                               Namanya Laila

إبراهيم               :       ومن تسقى الزهرة؟
                                                                   Dan siapa yang menyiram bunga?

زبيدة                 :       أختى الصغيرة أيضا
                                                                            Saudara perempuanku juga

إبراهيم               :       أين أبوك إروان ؟
                                 Di mana Ayahmu Irwan?

إروان                 :       أبي يجلس فى حجرة الجلوس.
  
إبراهيم               :       ماذا يفعل؟
إروان                 :       هو يقرأ الجريدة
هيريادي              :      هل أبوك موظف؟
إروان                 :       لا، أبي مدرس فى المدرسة العالية الحكومية
هيريادي              :       فى أية ساعة هو يذهب إلى المدرسة؟
إروان                 :       فى الساعة السابعة
إبراهيم               :       ومتى يرجع؟
إروان                 :       هو يرجع من المدرسة فى السابعة الواحدة نهارا

Sumber dari Heriadi