SELAMAT DATANG DI BLOG MADRASAH DINIYAH AL-MUWAFAOH, DENGAN MEDIA BLOG INI KAMI MENERIMA TITIPAN INFAK ATAU SODAQOH DARI KAUM MUSLIMIN DAN MUSLIMAT. SEMOGA ALLAH MELIPAT GANDAKAN PAHALA BAGI KITA SEMUA

Senin, 25 Maret 2013



TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP PENDIDIKAN ANAK

Secara umum, peranan orang tua dalam pendidikan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan watak dan kepribadian anak. Jika dipersentase, maka peran orang tua akan mencapai 60%, sedangkan pengaruh lingkungan bergaul (bermain) 20%, dan lingkungan sekolah (sekolah regular atau non pesantren, sekolah pergi pulang) juga 20%. Apabila peran orang tua tidak diperankan secara baik dan benar maka pengaruh pendidikan 60% tersebut akan ditelan habis oleh lingkungannya. Lingkungan yang paling besar berpengaruh kepada anak adalah lingkungan bergaulnya, bukan lingkungan sekolahnya.
Sedangkan pengaruh pendidikan anak pada pondok pesantren sebagai tempat mengenyam pendidikan dan tempat bergaul selama 24 jam adalah 80%, sedangkan pengaruh bawaan dari lingkungan keluarga adalah 20%. Apabila pesantren mampu mempersentasekan perannya dengan baik, maka keberhasilan pendidikan anak akan lebih menjanjikan daripada sekolah regular.
Oleh karena itu, hendaknya para orang tua memperhatikan dengan sungguh-sungguh perannya dalam pendidikan anak, termasuk memilih lembaga pendidikan yang tepat bagi anaknya. Penulis telah melakukan observasi di banyak tempat, terhadap sejumlah alumni lembaga pendidikan, baik yang regular maupun pesantren, maka tingkat kesuksesan yang hakiki, yakni ketaatan kepada Allah Subhaanahu wa ta’aala dan kepatuhan kepada kedua orang tua, lebih besar diraih oleh sejumlah besar alumni pondok pesantren daripada sekolah reguler walaupun berlabel Islam. Oleh karenanya, apabila anak-anak sudah mencapai usia mandiri, yaitu 10 tahun ke atas atau paling tidak telah tamat sekolah dasar, hendaklah orang tua tidak ragu-ragu untuk menyerahkan pendidikan anaknya kepada pesantren, tentunya bermanhaj salaf, jika orang tua tidak memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan pesantren.
Anak merupakan karunia sekaligus ujian bagi manusia. Anak merupakan amanah yang menjadi tanggung jawab orang tuanya. Ketika pertama kali dilahirkan ke dunia, seorang anak dalam keadaan fitrah dan berhati suci lagi bersih. Lalu kedua orang tuanyalah yang memegang peranan penting pada perkembangan berikutnya, apakah keduanya akan mempertahankan fitrah dan kesucian hatinya, ataukah malah merusak dan mengotorinya.
Pendidikan terhadap anak merupakan bagian terpenting dalam kehidupan berumah tangga. Sebab salah satu tujuan utama pernikahan adalah lahirnya keturunan yang nantinya akan menjadi generasi penerus. Generasi penerus yang tumbuh tanpa didampingi pendidikan agama yang memadai justru akan menjadi mangsa dan korban penjajahan peradaban lain. Namun ironisnya hal itu tidak disadari oleh kebanyakan pasangan suami istri, sehingga pendidikan agama kurang mendapatkan perhatian dari mereka.
Dalam pandangan kebanyakan orang tua di masyarakat kita, pendidikan yang layak dan baik adalah dengan menyekolahkan anak di sekolah “favorit”, dengan harapan anak tersebut akan dapat berprestasi, sehingga nantinya memiliki masa depan yang “sukses dan mapan”. Tidak peduli apakah sekolah tersebut mengajarkan nilai-nilai Islam ataukah tidak. Bahkan lebih dari itu, mereka tidak peduli meskipun sekolah tersebut dikelola oleh pendidikan sekuler atau non Islam. Malah mereka berpandangan bahwa jika ingin mendapatkan kualitas “pendidikan yang berkelas”, maka harus menyekolahkan anak-anak mereka di lembaga-lembaga pendidikan non Islam. Arena lembaga-lembaga tersebut mengelola dan menyelenggarakan pendidikan secara “profesional”, sementara sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga Islam “dikelola dengan apa adanya dan jauh dari profesionalisme.” Itulah anggapan mereka secara umum.
Ukuran kesuksesan dalam pandangan mereka adalah ketika seseorang sukses secara materi, atau sukses meraih kedudukan tinggi. Mereka akan sangat bangga dan merasa berhasil mendidik dan membesarkan anak-anak mereka, manakala anak-anak tersebut sukses menduduki suatu jabatan tinggi, atau berprofesi dengan profesi bergengsi atau menjadi pebisnis besar. Mereka tidak peduli apakah anak-anak mereka mengerti dan mematuhi tuntunan agamanya, ataukah malah menjauh dari itu semua dan tidak mempedulikannya. Mereka hanya mengenal Islam pada momen-momen tertentu saja, setelah itu mereka kembali melupakan dan tidak mempedulikannya.
Seseorang tidak mustahil akan digugat oleh anak yang dikasihinya kelak di hadapan Allah. Anak yang selama hidup di dunia sangat dia kasihi dan dia banggakan, dia sekolahkan di sekolah terbaik, dia sediakan baginya segala fasilitas dan dia penuhi segala kebutuhan materinya, berubah menjadi musuh yang menggugatnya. Segala kebutuhannya secara materi memang telah dia penuhi, namun pendidikan agamanya tidak pernah dia pedulikan, sehingga anak tersebut tumbuh dalam kebodohan dan jauh dari agamanya. Dia tidak mengerti bagaimana seharusnya berakidah, dan tidak dapat membedakan mana tauhid dan mana syirik. Dia tidak tahu tata cara dan kewajiban shalat serta berbagai jenis ketaatan lainnya, sehingga dia meremehkannya. Dia tidak dapat membedakan mana yang halal dan mana yang haram, sehingga semuanya diraup habis tanpa memilih dan memilah, apakah ini sesuatu yang dibolehkan ataukah dilarang. Maka hancurlah agamanya, rusaklah perilakunya, dan suramlah masa depannya di akhirat. Karenanya, tidak heran jika anak tersebut nantinya akan menggugat orang tuanya, karena kelalaian orang tuanyalah yang membuatnya terjerumus dalam kesengsaraan.
Karenanya, sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang tua untuk memberikan perhatian lebih pada pendidikan agama anak-anaknya, melebihi perhatiannya terhadap hal lain, bahkan terhadap makan, minum dan kesehatannya. Karena kelalaian terhadap kebutuhan gizi dan kondisi kesehatan anak hanya akan berdampak pada memburuknya kesehatan anak tersebut, atau maksimal mengantarkannya pada kematian. Namun kelalaian terhadap pendidikan agamanya akan sangat fatal akibatnya, karena akan membuatnya sengsara selama-lamanya dalam kehidupan akhirat. Sungguh sangat mengherankan sikap sebagian orang tua, yang hanya bersedih dan menangis ketika tubuh anaknya sakit atau mati, namun tidak demikian halnya ketika hati dan jiwanya yang sakit atau mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar